Selasa, 07 April 2015

Perempuan Sematkan Nama Suami, Apakah Islam Membolehkan?

Bukan menjadi hal yang baru di Indonesia, di mana seorang perempuan menyematkan nama suaminya di belakang namanya. Bukan nama ayahnya (binti).

Hal ini dilakukan oleh orang-orang di seluruh lapisan masyarakat, mulai dari kalangan rakyat kebanyakan hingga presiden. Kita tentu belum melupakan Siti Hartinah. Setelah menjadi ibu negara, ia lebih dikenal dengan nama Tien Soeharto, biasanya disapa pula dengan tambahan kata 'ibu' di depan namanya.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kecenderungan penyematan nama seperti ini, yang kemudian seakan menjadi tradisi baru dan berlangsung terus sampai sekarang, diperbolehkan dalam Islam? Apakah hukumnya?

Ada tiga pendapat yang berbeda. Pendapat pertama, seperti dipapar dalam artikel yang dilansir Muslimah Corner, memperbolehkan. Fatwa ini dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa Dar al-Ifta Mesir, sepanjang tujuan penyematan nama suami di belakang nama istri, bukan untuk mengalihkan nasab atau keturunan.

Salah satu dalil yang dipakai adalah hadits riwayat Abu Sa'id al-Khudri yang diriwayatkan pula oleh Bukhari. Disebutkan bahwa suatu hari seorang perempuan bernama Zainab, yang merupakan istri seorang pengikut rasul bernama Abdullah bin Mas'ud, datang kepada Rasulullah Muhammad SAW.

"Wahai Rasulullah, Zainab meminta izin untuk bertemu," kata seorang sahabat. Rasulullah balik bertanya, "Zainab siapa?", dan dijawab, "Istri Ibnu Mas'ud."

Dalam riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah tidak mempersoalkan penyebutan Zainab Ibnu Mas'ud dan mengizinkannya bertemu.

Pendapat kedua, membolehkan dengan syarat berada dalam kondisi darurat. Kondisi yang dimaksud adalah kultur atau kebijakan pendokumentasian. Misalnya, tatkala seorang muslimah berdomisili di negara-negara di mana Islam bukan agama mayoritas.

Di Eropa dan Amerika, misalnya, kultur setempat justru menekankan perempuan bersuami untuk menyematkan nama suami di belakang namanya. Jika tidak mengikuti, maka muslimah tersebut tidak akan terdaftar dalam dokumen-dokumen penting, semisal kependudukan, dan hal ini mendatangkan masalah lebih besar bagi yang bersangkutan.

Pendapat ketiga, melarang. Berdasarkan Fatwa Lajnah Daimah jilid 20 hal 379, dinyatakan larangan menambahkan nama suami di belakang nama istri karena ini memperlihatkan nasab atau keturunan, dan menyerupai budaya kaum kafir. Dalilnya adalah Surah Al Ahzab Ayat 5: "Panggilan mereka dengan menasabkan mereka kepada ayah mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah."

Kesimpulannya bagaimana? Sebaiknya tidak dilakukan kecuali dalam kondisi darurat.