Rabu, 28 Januari 2015

Kisah Hidup Wanita Kuat Devi Asmadiredja

Kisah Hidup Wanita Kuat Devi Asmadiredja - SEBAGAI ibu rumah tangga biasa, Devi Asmadiredja (45), perempuan keturunan Indonesia berkewarganegaraan Jerman, tak pernah bermimpi dirinya bisa seketika ”terpental” begitu saja dari kehidupan normalnya.

Sekitar empat tahun lalu dirinya masih tinggal dengan sang suami dan ketiga anaknya di Jerman. Namun, pada awal 2011 dengan begitu saja sang suami menyatakan tak lagi mencintai dirinya dan lebih parah meminta Devi pergi.

Oleh sang suami, Devi dibelikan tiket pesawat dan diminta pergi ke kota terpencil, Pankisi Gorge, sekitar 3.000 kilometer dari rumah tinggalnya yang nyaman di Jerman. Pankisi Gorge berada di kawasan lembah, di ujung timur laut negeri Georgia yang berbatasan dengan Republik Chechnya, Rusia.

”Dia (suami Devi) menyuruh saya pergi ke Pankisi dan belajar bahasa Chechen, bahasa nenek moyangnya. Dia bilang saya boleh pulang dan mengajari dia nanti,” ujar Devi.

Suami Devi membelikan tiket dan memberi uang sekadarnya untuk membeli makan dan minum. Devi saat itu terbilang ketakutan lantaran dia belum pernah bepergian jauh, apalagi meninggalkan anak-anak.

Saat itu ketiga anaknya berusia 5, 8, dan 12 tahun. Kondisi itu sangat memberatkan. Devi tak pernah tidur semalam pun tanpa anak-anaknya.

Tanpa kenal siapa pun dan tak mengetahui bahasanya, Devi tiba di Tbilisi, lalu melanjutkan perjalanan menuju Desa Duisi.

Dengan bermodal keberanian, dia nekat bertanya kepada orang pertama yang dijumpainya ketika itu untuk memberi tahu di mana dia bisa belajar bahasa setempat. Setelah sekian lama dia mulai mahir berbicara bahasa Chechen. Warga setempat bahkan memberinya nama lokal, Khedi, kependekan dari Khedijat atau Khadijah, istri Nabi Muhammad SAW.

Kisah hidup Devi terus berlanjut. Tak melulu dia menemui jalan hidup yang landai. Sejumlah orang mencurigai dirinya sebagai mata-mata Rusia. Akhirnya dia diusir.

Lantaran terlunta-lunta dia bahkan terpaksa tinggal lama di kawasan pegunungan seorang diri, berpindah dari satu pondok ke pondok kosong lainnya.

Tanpa uang, makanan, akses listrik, pemanas, dan air bersih, Devi mencoba bertahan hidup, nyaris di alam terbuka yang ganas. Dia terbiasa tak makan selama berhari-hari. Bahkan, untuk tetap menghangatkan diri dia mencoba terus berjalan.

Namun, tanpa terasa dia menguasai lika-liku kawasan pegunungan, termasuk lokasi-lokasi dengan pemandangan indah.

Dia juga menguasai bahasa Georgia lantaran kerap bergaul dengan para penggembala yang ditemuinya di perjalanan.

Roda nasib Devi perlahan membaik. Dia ditawari pekerjaan dengan bayaran 100 dollar AS, setara Rp 1,2 juta per hari.

Oleh sebuah biro perjalanan Jerman dia diminta mendampingi para turis mendaki dan menyusuri tempat-tempat indah di pegunungan, yang tentunya sudah sangat biasa ia datangi.

Setelah sekian lama, Devi teramat merindukan ketiga anaknya. Dia terus mengirimi mereka surat elektronik walau tak pernah dibalas.

Namun, Devi mengaku juga enggan meninggalkan kehidupan barunya sekarang, apalagi dalam waktu dekat dirinya akan dinikahi seorang pria Pankisi. ”Sekarang saya punya kehidupan di sini. Mungkin saya bisa kembali ke Jerman. Tetapi, mengapa saya harus meninggalkan kehidupan baru saya sekarang,” ujarnya masygul.
--kompas.com--